Rabu, 26 September 2012

Bienvenue à Paris

Diantara angan dan kenyataan, kau kirimkan sepasang bayangan kerinduan untukku; sepucuk surat dan setengah jiwa kesepian yang hidup dalam kata-katamu.

"Halo manusia ikan, apa kabarmu di kota para bintang?" sapamu di awal surat.

 Aku jadi mengingatmu bila malam tiba. Bayanganmu seperti  tepat berada di bawah terang purnama. Maaf setelah sebulan berlalu, baru kali ini sempat ku kabari walau lewat beberapa baris kata, ku harap ini dapat mewakili seribu kerinduanku padamu.

           Tiga hari pertama di sini, aku jatuh sakit. Aku akhirnya  merasakan apa itu culture shock. Setiap kali makan, rasanya belum lengkap tanpa nasi dan tempe, seperti kebiasaan makan kita di angkringan atau burjo semasa kuliah. Memang di sini nasi dan tempe adalah barang langka, sama seperti  jagung bose kesukaanmu, yang juga menjadi barang langka di Jogjakarta.

          Pikirku, di sini akan lebih indah dari keisengan kita mengusir malam di depan Vredeburg. Aku salah. Mungkin juga keliru. Tempat ini tidak layak bagi mereka yang kesepian. Mereka yang tenggelam dalam euforia kembang api di malam Minggu kota Paris. Tentu tidak juga untuk kesepian yang kuciptakan di sini. 

Bienvenue à Paris

         Dengan sisa kesepian yang masih nanar menggantung, kupaksakan untuk berkelana sebisa kaki lepas berpijak. Hanya dengan begitu, aku bisa membunuh kesepian yang terus besar seiring hitungan hari.
Seminggu yang lalu aku berada di Champ de Mars, tepat di bawah rimbunan pohon-pohon di taman itu. 

         Mataku tak lepas memandang Eiffel. Ini lebih indah dari yang kita tonton di film Eiffel : I’m in Love beberapa tahun silam. Bahkan, aku pikir, mustahil ini hasil kreasi manusia abad 19. Aku lebih suka menyebut ini keisengan manusia setengah dewa. Andai saja kau juga ada di sini, mungkin kita bisa menjaga sisi romantis Champ de Mars dan berpose mesra di depan papan Bienvenue à Paris yang persis di bawah kaki Eiffel.

         Hari ketujuh setelah tiba di kota ini, kuputuskan untuk menjelajahi Musee Du Louvre, mencari jejak misteri senyum La Jaconde diantara ribuan koleksi seni rumah kaca itu. Butuh 2 jam lebih untuk akhirnya aku bisa berada di dalam piramida gelas itu. Antrian yang panjang menguji kesabaranku di pagi itu. Tetapi semua terbayar lunas ketika bisa kusaksikan sepenggal senyum La Jaconde yang menyimpan tanya. Untuk sesaat, aku tenggelam dalam teka-teki senyumnya itu. Dipikiran usilku, mungkin La Jaconde sedang tertawa sinis melihatku yang kehilangan gairah di tengah pesona kota ini.

         Saban Minggu, sengaja ku isi dahaga bathin di Rue de Chevalier-de la barre, Montmartre, sekedar mengagumi sentuhan Bizantin pada megah Basilica Sacre Coeur. Seusai ekaristi, kuputuskan untuk menikmati Demoiselles d'Avignon karya Picasso di sekitar area Rue de Chevalier-de la barre. kau harus ke sini, untuk bisa melihat Picasso-Picasso masa kini yang berlumur cat dengan lukisan imajinatif bahasa masa depan.

        Annė, seorang teman seperjalanan sepulang wisataku di Musee D’Orsay menyarankanku untuk melihat warisan “Si Pendek” Napoleon di Arch de Triomphe, sebuah gerbang kebanggaan dan simbol kemerdekaan orang negeri ini. “Di Musee D’Orsay, kamu hanya melihat karya Degas, Cezanne dan seniman lainnya. Tetapi di Arch de Triomphe, kau bisa melihat Napolen yang hidup dan menghirup aroma kebebasan  di gerbang tua itu” kata Julie sebelum kami berpisah di stasiun.

    Seminggu lagi kuliah pertama akan dimulai. Sebelum kesibukan benar-benar tenggelam di kepala, kuputuskan berkelana ke Arch de Triomphe.

     Tepat seperti kata Annė, bisa kurasakan kebebasan di gerbang itu. Namun itu hanya sesaat ketika tatapanku jatuh pada Champ Elysee yang membentang indah di depan Arch de Triomphe. Kerinduan padamu seketika mencuri kebebasan itu.

        Dan malam kembali sepi, seperti biasa, ketika kupandangi langit Paris dari teras Avenue de Suffren. Tak ada bintang yang benderang. Hanya kerlip cahaya terang dari Eiffel. Dari jauh sayup terdengar simponi La Vien en Rose karya Edith Piaf mengalun seirama angin.  Seorang wanita separuh baya di sebelah kamarku pernah mengatakan bahwa musik itu berasal dari  bar kopi kecil di pinggiran taman Champ de Mars.

Des yeux qui font baiser les miens Un rire qui se perd sur sa bouche Voila le portrait sans retouche De l'homme auquel, j'appartiens
Quand il me prend dans ses bras Il me parle tout bas Je vois la vie en rose
Il me dit des mots d'amour Des mots de tous les jours Et ça me fait quelque chose
Il est entré dans mon coeur Une part de bonheur Dont je connais la cause
C'est lui pour moi Moi pour lui dans la vie Il me l'a dit, l'a juré pour la vie
Et, dès que je l'apercois Alors je sens en moi Mon coeur qui bat
Des nuits d'amour à ne plus en finir Un grand bonheur qui prend sa place Des enuis des chagrins, des phases Heureux, heureux a en mourir

Kutipan lagu itu seperti membawaku kembali padamu, pada sisa-sisa kenangan tentangmu dan Jogjakarta.
La Vien en Rose nyaris berakhir, kukatupkan mata sembari mengingatmu. Di negeri yang jauh dari tatapanmu, kukirimkan setengah kesepian ini - aku menunggu di beranda Avenue de Suffren yang asri.

---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Semarang, 25 September 2012
Suatu malam di Avenue de Suffren...

img src = di sini
Judul: Bienvenue à Paris
Rating: 100% based on 99998 ratings. 5 user reviews.
Ditulis Oleh Unknown

Terimakasih atas kunjungan Sobat beserta kesediaan Anda membaca artikel ini. Kritik dan Saran sobat dapat sampaikan melalui Kotak komentar dibawah ini.
Share this :

Ditulis Oleh : Unknown ~ Denny Neonnub

Artikel Bienvenue à Paris ini diposting oleh Unknown Terimakasih atas kunjungan Anda serta kesediaan Anda membaca artikel Bienvenue à Paris ini.Di Posting Rabu, 26 September 2012. Tak Lengkap Rasanya Jika Kunjungan Anda di Blog ini Tanpa Meninggalkan Komentar Untuk Itu Silahkan Berikan Kritik dan saran Anda Pada Kotak Komentar Di Bawah. Semoga Artikel Bienvenue à Paris dapat Memberi manfaat untuk Anda ..Trima Kasih. :)
 
;