"Halo manusia ikan, apa kabarmu di kota para bintang?" sapamu di awal surat.
Aku jadi mengingatmu bila malam tiba. Bayanganmu seperti tepat berada di bawah terang purnama. Maaf setelah sebulan berlalu, baru kali ini sempat ku kabari walau lewat beberapa baris kata, ku harap ini dapat mewakili seribu kerinduanku padamu.
Tiga hari pertama di sini, aku jatuh sakit.
Aku akhirnya merasakan apa itu culture shock. Setiap kali makan,
rasanya belum lengkap tanpa nasi dan tempe, seperti kebiasaan makan kita di
angkringan atau burjo semasa kuliah. Memang di sini nasi dan tempe adalah
barang langka, sama seperti jagung bose kesukaanmu, yang juga menjadi
barang langka di Jogjakarta.
Pikirku, di sini akan lebih indah dari keisengan
kita mengusir malam di depan Vredeburg. Aku salah. Mungkin juga
keliru. Tempat ini tidak layak bagi mereka yang kesepian. Mereka yang tenggelam
dalam euforia kembang api di malam Minggu kota Paris. Tentu tidak juga untuk
kesepian yang kuciptakan di sini.
Bienvenue à Paris |
Seminggu yang lalu aku berada di Champ de
Mars, tepat di bawah rimbunan pohon-pohon di taman itu.
Mataku tak lepas
memandang Eiffel. Ini lebih indah dari yang kita tonton di film Eiffel
: I’m in Love beberapa tahun silam. Bahkan, aku pikir, mustahil ini hasil
kreasi manusia abad 19. Aku lebih suka menyebut ini keisengan manusia setengah
dewa. Andai saja kau juga ada di sini, mungkin kita bisa menjaga sisi romantis Champ
de Mars dan berpose mesra di depan papan Bienvenue à Paris yang
persis di bawah kaki Eiffel.
Hari ketujuh setelah tiba di kota ini, kuputuskan
untuk menjelajahi Musee Du Louvre, mencari jejak misteri senyum La
Jaconde diantara ribuan koleksi seni rumah kaca itu. Butuh 2 jam lebih
untuk akhirnya aku bisa berada di dalam piramida gelas itu. Antrian yang
panjang menguji kesabaranku di pagi itu. Tetapi semua terbayar lunas ketika
bisa kusaksikan sepenggal senyum La Jaconde yang menyimpan tanya.
Untuk sesaat, aku tenggelam dalam teka-teki senyumnya itu. Dipikiran usilku,
mungkin La Jaconde sedang tertawa sinis melihatku yang kehilangan
gairah di tengah pesona kota ini.
Saban Minggu, sengaja ku isi dahaga bathin di Rue
de Chevalier-de la barre, Montmartre, sekedar mengagumi sentuhan Bizantin
pada megah Basilica Sacre Coeur. Seusai ekaristi, kuputuskan untuk
menikmati Demoiselles d'Avignon karya Picasso di sekitar area Rue
de Chevalier-de la barre. kau harus ke sini, untuk bisa melihat Picasso-Picasso
masa kini yang berlumur cat dengan lukisan imajinatif bahasa masa depan.
Annė, seorang teman seperjalanan sepulang
wisataku di Musee D’Orsay menyarankanku untuk melihat warisan “Si
Pendek” Napoleon di Arch de Triomphe, sebuah gerbang kebanggaan dan
simbol kemerdekaan orang negeri ini. “Di Musee D’Orsay, kamu hanya
melihat karya Degas, Cezanne dan seniman lainnya. Tetapi di Arch de
Triomphe, kau bisa melihat Napolen yang hidup dan menghirup aroma
kebebasan di gerbang tua itu” kata Julie sebelum kami berpisah di
stasiun.
Seminggu lagi kuliah pertama akan dimulai.
Sebelum kesibukan benar-benar tenggelam di kepala, kuputuskan berkelana ke Arch
de Triomphe.
Tepat seperti kata Annė, bisa kurasakan kebebasan
di gerbang itu. Namun itu hanya sesaat ketika tatapanku jatuh pada Champ
Elysee yang membentang indah di depan Arch de Triomphe. Kerinduan
padamu seketika mencuri kebebasan itu.
Dan malam kembali sepi, seperti biasa, ketika
kupandangi langit Paris dari teras Avenue de Suffren. Tak ada bintang
yang benderang. Hanya kerlip cahaya terang dari Eiffel. Dari jauh sayup
terdengar simponi La Vien en Rose karya Edith Piaf mengalun seirama
angin. Seorang wanita separuh baya di sebelah kamarku pernah mengatakan
bahwa musik itu berasal dari bar kopi kecil di pinggiran taman Champ
de Mars.
Des yeux qui font baiser les miens Un rire
qui se perd sur sa bouche Voila le portrait sans retouche De l'homme auquel,
j'appartiens
Quand il me prend dans ses bras Il me parle
tout bas Je vois la vie en rose
Il me dit des mots d'amour Des mots de tous
les jours Et ça me fait quelque chose
Il est entré dans mon coeur Une part de
bonheur Dont je connais la cause
C'est lui pour moi Moi pour lui dans la vie
Il me l'a dit, l'a juré pour la vie
Et, dès que je l'apercois Alors je sens en
moi Mon coeur qui bat
Des nuits d'amour à ne plus en finir Un grand
bonheur qui prend sa place Des enuis des chagrins, des phases Heureux, heureux
a en mourir
Kutipan lagu itu seperti membawaku kembali
padamu, pada sisa-sisa kenangan tentangmu dan Jogjakarta.
La Vien en Rose nyaris berakhir,
kukatupkan mata sembari mengingatmu. Di negeri yang jauh dari tatapanmu,
kukirimkan setengah kesepian ini - aku menunggu di beranda Avenue de
Suffren yang asri.
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Semarang, 25 September 2012
Suatu malam di Avenue de Suffren...
Judul: Bienvenue à Paris
Rating: 100% based on 99998 ratings. 5 user reviews.
Ditulis Oleh Unknown
Terimakasih atas kunjungan Sobat beserta kesediaan Anda membaca artikel ini. Kritik dan Saran sobat dapat sampaikan melalui Kotak komentar dibawah ini.
Rating: 100% based on 99998 ratings. 5 user reviews.
Ditulis Oleh Unknown
Terimakasih atas kunjungan Sobat beserta kesediaan Anda membaca artikel ini. Kritik dan Saran sobat dapat sampaikan melalui Kotak komentar dibawah ini.