Minggu, 14 Oktober 2012 Comments

Cerita Tentang Hati

Lupakanlah segala perjalanan terjal di waktu kemarin
Bila beberapa simpangan tak lagi berbentuk dan berwarna
Toh mentari pagi pun akan lepas membentuk lembayung petang
Demikian hidup mesti terus berganti seurut pola waktu.


Tak ada alasan untuk diam dan menimbun pahit
Hari esok menunggu untuk ditulis seribu senyum
Belajarlah menjadi terang karena pernah terluka
Demikian hidup memoles kokoh segala rupa laku
Menjadi indah seturut jalan masanya.

Dan malam ini,
Sebelum hari bergeser mengganti pagi yang lain
Berdoalah untuk sebentuk mimpi paling agung
Agar  esokmu lebih terang dari cahaya yang diberikan dunia.
                                   
                              ***
Jogjakarta, 14 Oktober 2012     (22.14 WIB)

Kepada serupa jiwaku, selamat ulang tahun di kota bintang, 

Maaf !!!  tak ada kado yang lebih istimewa dari sebaris puisi dan doa malam ini…semoga esokmu lebih terang dari dunia !!!

Cerita Tentang Hati
Sambut Terangmu

img src= di sini
Read More »»  
Rabu, 10 Oktober 2012 Comments

Daftar Isi Blog Kotak Cermin

Read More »»  
Selasa, 09 Oktober 2012 Comments

Memoar Dua Hati - When September End

We are sorry for this










Read More »»  
Comments

Sebuah Catatan Hati

Suatu kelak ketika kita tak lagi di sini
Aku akan menulis beberapa bagian kisah kita
Tentang parasmu dan keelokan purnama suatu malam.
Mungkin demikian seisi jiwamu akan tetap hidup
Memberi terang di sisa jalan kepulangan,
Hingga tiba ketika tangan berhenti memoles kata-kata
Dan hati tak lagi mengingat senyummu juga hari-hari semasa kita ada.




          










                              
                                    ***

Jogjakarta, 9 Oktober 2012 09.31 WIB
Malam tanpa bintang, kepada segala hati dan cinta yang kokoh.
Read More »»  
Senin, 08 Oktober 2012 Comments

Kepada Cahaya...

Malam hampir pasti merapat
Maukah kau berbagi sedikit terangmu?
Di sini gelap dan senyap
Tak ada lilin dan teman terang yang lain
Hujan masih trus mengguyur lebat
Aku lupa, malam ini jadwal pemadaman bergilir di kampungku
Maukah kau berbagi sedikit terangmu?

                       ***

 Jogja, 08 Oktober 2012
Sebelum listrik padam…
Cahaya Lilin




















img src= di sini  
Read More »»  
Rabu, 26 September 2012 Comments

Gadis Bermata Biru

Kau pasti sudah mati bila tidak segera aku cegah tindakan nekatmu kala itu. Dua hari selepas malam yang paling pahit itu, kau mengajakku minum kopi di Pavilion Café. Sebagai balas budi, begitu isi pesan terakhirmu via telepon sebelum kita bersua.
        
“Terima kasih telah menolongku” ujarmu sesaat seusai tangan mungilmu sibuk menghiasi Coffee Latte yang masih hangat.

“Aku hanya berada di waktu dan tempat yang tepat” balasku singkat.

“Bukan kebetulan kau berada di sana. Tuhan telah mengirimmu malam itu. Entah bagaimana, hanya Dia yang tahu”sahutmu lagi lalu menikmati kopi itu.

      Dan malam itu berlalu. Pertemuan kita di Lamberth Bridge telah membuka lembaran baru persahabatan kita. Ya, persahabatan yang terbentuk tanpa sengaja. Sebuah kebetulan semata. Mungkin.

    Setelah hari itu, kau sering mengajakku menghabiskan malam di Pavilion Café, sesekali menikmati  aroma malam di Westminster Abbey, berkelana di tengah lautan buku perpustakaan Britania, bergandengan tangan menelusuri bangku-bangku Kensington Garden, sesekali beradu pandang di Taman Istana Buckingham, menghabiskan Minggu pagi di Gereja St. Margareth  dan segala kebiasaanmu tiba-tiba tertular padaku.

   Satu yang masih terekam jelas dalam bayangan kebersamaan kita. Kau mengajakku menyaksikan pertandingan Chelsea akhir pekan itu.

“Kau tidak mau menemaniku ke Stamford Bridge?”tanyamu di depan pintu sembari memegang dua tiket masuk.

“Aku benci Chelsea”

“Mengapa?”tanyamu lagi dengan tatapan lugu.

“Aku Barcelonistas” balasku singkat.

Dia tertawa sejadinya. Menatapku penuh senyum kemenangan.

“Bukan karena Champions kemarin kan?”

“Itu hanya salah satunya”

Dan kau tertawa lagi. Sekali lagi. Tawa yang memecah petang di Street IX.

“Ayo temani aku. Paling tidak untuk hari ini saja”pintamu lagi.

Dan malam itu jadi lebih spesial. Bisa kusaksikan kegirangan yang terbenam dalam kedua mata birumu itu. Kita sama-sama mencintai sepak bola. Sayangnya, pilihan kita berbeda.

      “Mengapa kau mencintai Chelsea?”tanyaku suatu malam ketika kita berada diantara ribuan warna merah Theatre of Dreams.


     “Apa? Aku tak mendengar. Di sini sangat ribut” ujarmu sembari mendekatkan wajahmu. Wangi rambut pirangmu yang sebahu itu bisa kurasakan begitu rapat.

     “Mengapa kau mencintai Chelsea”tanyaku lagi dengan suara lebih keras.

     “Aku terlahir di kota ini. Dan aku mencintai Chelsea. Mereka kebanggaan kami”balasmu santai.
Kau menatapku sesaat dengan mata yang menyimpan seribu tanya.

   “Lalu kau, mengapa kau mencintai Barcelona? Tidak adakah klub dari kotamu yang bisa kau banggakan?”serangmu kemudian.

Aku diam. Memperhatikan kau yang terlihat cantik memakai baju biru itu.

      “Sepakbola di negeriku sedang kacau. Mudah sekali dipolitisasi. Semua berpikir merekalah yang paling benar dalam mengelola sepak bola nasional. Kami kehilangan kebanggaan terhadap sepakbola kami sendiri”balasku sebisanya.

       Lalu malam itu pergi. Kau pulang dengan hati yang masih mekar berseri. Tiga angka yang berhasil di bawah pulang Chelsea menambah senyum ceriamu ketika kita kembali ke London dalam perjalanan kereta api.

      Kedekatan diantara kita, telah menumbuhkan ruang istimewa di hatiku. Ini terlihat bodoh. Tetapi keadaan telah membentuk kita demikian. Tidak mungkin kau jatuh cinta padaku. Seorang gadis bermata biru sepertimu (tentu) akan memilih pria bermata biru, bukan lelaki dengan kulit sawo matang dan rambut hitam. Kita berbeda. Memang demikian kenyataannya.

Sekali lagi, hari berlalu begitu cepat. Kita bertemu di London Bridge ketika petang hampir mati di ujung kota.

“Kamu tidak sedang ingin mengucapkan salam perpisahan bukan?” obrolmu membuka percakapan kita.

“Darimana kau tahu demikian?” balasku lagi.

“Seminggu yang lalu kita sama-sama merayakan wisudamu. Itu berarti kau akan pulang ke negerimu kan?”sergahmu lagi.

“Ya memang benar. Aku sudah berusaha menyembunyikan semua ini dari kamu. Tetapi kamu lebih pinta untuk membaca situasi.”

“Lalu”tambahmu lagi sembari menatapku polos. Tatapan yang belum pernah aku lihat sebelumnya. Matamu tampak berkaca-kaca.

“Dua hari lagi aku akan pulang. Ceritaku di sini nyaris berakhir”

Keheningan sekejap menyelimuti kami. Aku tak tahu mengapa, seperti berat harus meninggalkan kota ini. Lebih parahnya lagi, aku berat harus meninggalkan gadis bermata biru ini. Dialah pesona kota tua ini.

“Kamu tidak akan kembali lagi? Maksudku kembali ke kota ini?”

“Tidak ada alasan lagi aku harus kembali ke sini”jawabku datar.

“Bagaimana kalau tentang aku. Kembalilah karena aku di sini.”balasmu cepat.

“Itu tidak cukup”

“Kembalilah karena aku mencintaimu”tambahmu lagi.

Aku diam. Keheningan kembali merapat.

“Untuk waktu yang lama, aku menunggumu berbicara jujur tentang hati. Tetapi itu tidak pernah datang dari bibirmu.Dan hari ini, paling tidak aku sudah jujur dengan keadaan.”

“Aku tak ingin menaruh harapan yang sedemikian besar. Toh kita akan sampai juga pada hari ini, seperti saat ini dan itu pasti terdengar menyakitkan.”

“Aku butuh jawabanmu kini. Beritahu sesuatu yang bisa membuatku merasa kita pernah bersama.” imbuhmu lagi sembari memegang tanganku. Kedua mata birumu menyimpan harapan seribu tahun yang sulit ditebak.

“Aku pun mencintaimu Julie”

“Jika demikian, kembalilah untuk itu. Aku akan selalu menunggumu di sini”
                                                         
                                                        ***
Semarang, 7 September 2012
Suatu catatan perjalanan tentangmu....


sumber gambar : google images

Read More »»  
Comments

Bienvenue à Paris

Diantara angan dan kenyataan, kau kirimkan sepasang bayangan kerinduan untukku; sepucuk surat dan setengah jiwa kesepian yang hidup dalam kata-katamu.

"Halo manusia ikan, apa kabarmu di kota para bintang?" sapamu di awal surat.

 Aku jadi mengingatmu bila malam tiba. Bayanganmu seperti  tepat berada di bawah terang purnama. Maaf setelah sebulan berlalu, baru kali ini sempat ku kabari walau lewat beberapa baris kata, ku harap ini dapat mewakili seribu kerinduanku padamu.

           Tiga hari pertama di sini, aku jatuh sakit. Aku akhirnya  merasakan apa itu culture shock. Setiap kali makan, rasanya belum lengkap tanpa nasi dan tempe, seperti kebiasaan makan kita di angkringan atau burjo semasa kuliah. Memang di sini nasi dan tempe adalah barang langka, sama seperti  jagung bose kesukaanmu, yang juga menjadi barang langka di Jogjakarta.

          Pikirku, di sini akan lebih indah dari keisengan kita mengusir malam di depan Vredeburg. Aku salah. Mungkin juga keliru. Tempat ini tidak layak bagi mereka yang kesepian. Mereka yang tenggelam dalam euforia kembang api di malam Minggu kota Paris. Tentu tidak juga untuk kesepian yang kuciptakan di sini. 

Bienvenue à Paris

         Dengan sisa kesepian yang masih nanar menggantung, kupaksakan untuk berkelana sebisa kaki lepas berpijak. Hanya dengan begitu, aku bisa membunuh kesepian yang terus besar seiring hitungan hari.
Seminggu yang lalu aku berada di Champ de Mars, tepat di bawah rimbunan pohon-pohon di taman itu. 

         Mataku tak lepas memandang Eiffel. Ini lebih indah dari yang kita tonton di film Eiffel : I’m in Love beberapa tahun silam. Bahkan, aku pikir, mustahil ini hasil kreasi manusia abad 19. Aku lebih suka menyebut ini keisengan manusia setengah dewa. Andai saja kau juga ada di sini, mungkin kita bisa menjaga sisi romantis Champ de Mars dan berpose mesra di depan papan Bienvenue à Paris yang persis di bawah kaki Eiffel.

         Hari ketujuh setelah tiba di kota ini, kuputuskan untuk menjelajahi Musee Du Louvre, mencari jejak misteri senyum La Jaconde diantara ribuan koleksi seni rumah kaca itu. Butuh 2 jam lebih untuk akhirnya aku bisa berada di dalam piramida gelas itu. Antrian yang panjang menguji kesabaranku di pagi itu. Tetapi semua terbayar lunas ketika bisa kusaksikan sepenggal senyum La Jaconde yang menyimpan tanya. Untuk sesaat, aku tenggelam dalam teka-teki senyumnya itu. Dipikiran usilku, mungkin La Jaconde sedang tertawa sinis melihatku yang kehilangan gairah di tengah pesona kota ini.

         Saban Minggu, sengaja ku isi dahaga bathin di Rue de Chevalier-de la barre, Montmartre, sekedar mengagumi sentuhan Bizantin pada megah Basilica Sacre Coeur. Seusai ekaristi, kuputuskan untuk menikmati Demoiselles d'Avignon karya Picasso di sekitar area Rue de Chevalier-de la barre. kau harus ke sini, untuk bisa melihat Picasso-Picasso masa kini yang berlumur cat dengan lukisan imajinatif bahasa masa depan.

        Annė, seorang teman seperjalanan sepulang wisataku di Musee D’Orsay menyarankanku untuk melihat warisan “Si Pendek” Napoleon di Arch de Triomphe, sebuah gerbang kebanggaan dan simbol kemerdekaan orang negeri ini. “Di Musee D’Orsay, kamu hanya melihat karya Degas, Cezanne dan seniman lainnya. Tetapi di Arch de Triomphe, kau bisa melihat Napolen yang hidup dan menghirup aroma kebebasan  di gerbang tua itu” kata Julie sebelum kami berpisah di stasiun.

    Seminggu lagi kuliah pertama akan dimulai. Sebelum kesibukan benar-benar tenggelam di kepala, kuputuskan berkelana ke Arch de Triomphe.

     Tepat seperti kata Annė, bisa kurasakan kebebasan di gerbang itu. Namun itu hanya sesaat ketika tatapanku jatuh pada Champ Elysee yang membentang indah di depan Arch de Triomphe. Kerinduan padamu seketika mencuri kebebasan itu.

        Dan malam kembali sepi, seperti biasa, ketika kupandangi langit Paris dari teras Avenue de Suffren. Tak ada bintang yang benderang. Hanya kerlip cahaya terang dari Eiffel. Dari jauh sayup terdengar simponi La Vien en Rose karya Edith Piaf mengalun seirama angin.  Seorang wanita separuh baya di sebelah kamarku pernah mengatakan bahwa musik itu berasal dari  bar kopi kecil di pinggiran taman Champ de Mars.

Des yeux qui font baiser les miens Un rire qui se perd sur sa bouche Voila le portrait sans retouche De l'homme auquel, j'appartiens
Quand il me prend dans ses bras Il me parle tout bas Je vois la vie en rose
Il me dit des mots d'amour Des mots de tous les jours Et ça me fait quelque chose
Il est entré dans mon coeur Une part de bonheur Dont je connais la cause
C'est lui pour moi Moi pour lui dans la vie Il me l'a dit, l'a juré pour la vie
Et, dès que je l'apercois Alors je sens en moi Mon coeur qui bat
Des nuits d'amour à ne plus en finir Un grand bonheur qui prend sa place Des enuis des chagrins, des phases Heureux, heureux a en mourir

Kutipan lagu itu seperti membawaku kembali padamu, pada sisa-sisa kenangan tentangmu dan Jogjakarta.
La Vien en Rose nyaris berakhir, kukatupkan mata sembari mengingatmu. Di negeri yang jauh dari tatapanmu, kukirimkan setengah kesepian ini - aku menunggu di beranda Avenue de Suffren yang asri.

---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Semarang, 25 September 2012
Suatu malam di Avenue de Suffren...

img src = di sini
Read More »»  
 
;